Selasa, 13 Mei 2014

Posted by VGH RT.002 RW.025 On 12:21 PM


Vivi Yip, adalah pendiri Vivi Yip Art Room, sebuah galeri beraliran “new contemporary art”. Ia seorang wanita cantik berusia 40 tahun dengan pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai eksekutif balai lelang Sotheby’s Singapura. Pada tahun 2008, Vivi mendirikan galerinya sendiri yang hanya memiliki dua orang karyawan: ia dan satu karyawan lainnya.

Meski hanya mempunyai dua orang karyawan, Vivi Yip Art Room terus tumbuh. Sampai saat ini, sebulan sekali, Room mengadakan pameran. Dalam pameran-pameran tersebut, semua karya seni dari perupa yang bernaung di bawah Room hampir selalu terjual habis. “Sampai saat ini, sudah ada 10 seniman yang rata-rata sudah bekerja sama lebih dari 3 tahun bersama Room,” kata Vivi kepada Inspirasi. Mereka adalah Angki Purbandono, Agan Harahap, Arkiv Vilmansa, Badruzzaman, Erik Pauhrizi, Hendra HeHe Harsono, Syagini Ratna Wulan aka Cagi, Theresia Agustina Sitompul aka Tere, Wastuwidyawan, dan Sutra Djarot.
Ke-10 seniman tersebut dinamainya Young Indonesian Contemporary Artists (YICA). Ini adalah bagian dari strategi Vivi untuk memberikan identitas yang jelas bagi galerinya tersebut. “Identitas sebuah galeri adalah aliran seni yang dipromosikannya,” kata Vivi.
Sebuah galeri perlu memiliki alirannya sendiri, ia melanjutkan, karena aliran tersebutlah yang akan membedakannya dengan galeri seni lain. “Seandainya seseorang membuka restoranpun, harus jelas makanan apa yang bisa dimasaknya, demikian pula halnya dengan art,” kata Vivi.
Vivi mengakui naluri seni dan bisnisnya telah dipertajam ketika ia bekerja di Sotheby’s. “Saya belajar banyak dari Sotheby’s, termasuk networking, sampai kedisiplinan,” akunya. Meski posisinya sudah mapan di salah satu balai lelang terbesar dunia tersebut, Vivi kemudian merasakan adanya kerinduan untuk melakukan sesuatu untuk dunia seni Indonesia. “Saya rindu untuk melihat seniman Indonesia berbicara banyak di tingkat internasional, dan saya yakin sebenarnya kita mampu,” kata Vivi.
Penilaiannya terhadap potensi seniman Indonesia tidak main-main, karena berasal dari pengalaman matang sebagai seorang pebisnis yang memahami seni, sekaligus seniman yang memahami bisnis. “Saya yakin seniman kita secara teknik sebenarnya sudah unggul. Seniman Kita bukan tukang corat-coret yang lalu menyebut dirinya sebagai seniman,” kata Vivi yang juga menjadi kurator di galerinya.
Atas dasar keyakinan itu, Vivi lalu keluar dari Sotheby’s dan mendirikan Vivi Yip Art Room. Ia semakin percaya diri karena memiliki pengalaman sebagai public relation, juga selama 10 tahun. Modal saat itu sekitar Rp 100 jutaan yang bisa kembali dalam dua kali pameran. Ia mengaku terberkati karena tidak pernah mengalami kesulitan yang begitu berat dalam menjalankan bisnis ini. “Bahkan dalam pameran yang paling tidak menjualpun, pemasukannya bisa menutupi pengeluaran bulanannya,” kata Vivi.
Vivi memiliki keyakinan bahwa karya seni yang diciptakan perupanya memiliki rumahnya masing-masing. “Oleh karena itu, saya selalu memperlakukan Vivi Yip Art Room sebagai sebuah rumah dan para seniman sebagai bagian dari keluarga,” kata Vivi. Sebagai kepala keluarga, Vivi-lah yang kemudian mengelola karya seni para anggota keluarganya untuk bisa diapresiasi dengan baik oleh pecintanya. Singkatnya, para seniman hanya tinggal mencipta. “Saya mempromosikan, mempertemukan dengan kolektor sampai mengadakan pameran-pameran,” kata Vivi.

Sebagai kompensasi bagi para seniman yang karya-karyanya laku terjual, Vivi menerapkan sistem bagi hasil. Besarnya adalah 60:40, dimana 40 adalah bagiannya. Namun jika pameran dilakukan di luar negeri, sistem bagi hasil menjadi 50:50. “Harga jual lukisan berkisar antara Rp 20 juta – Rp 50 juta,” kata Vivi.

Harga ini sudah tetap, karena galeri adalah primary market. Namun ketika ditawarkan dalam mekanisme lelang atau diluar galeri, harga lukisannya bisa melambung tinggi, mencapai ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah. Itulah sebabnya, banyak pelukis yang kemudian bisa mencapai kekayaan fenomenal seperti I Nyoman Masriadi.
Namun bagi Vivi, terjun ke bisnis seni tidak dilakukannya untuk memperkaya diri, melainkan demi pemenuhan kepuasan pribadi. “Saya menikmati setiap detail dalam pekerjaan ini,” katanya. Oleh karena itu, dengan hanya dibantu 1 orang karyawan lainnya, Vivi Yip Art Room terus berjalan. “Punya karyawan 5 orang atau 1 orang saja tampaknya sama saja,” kata Vivi. Justru dengan tim kecil, kata Vivi, operasional galeri bisa dilakukan dengan efisien.
Kuncinya, kata Vivi, adalah menyenangi apa yang dilakukan sekaligus melakukan apa yang disenangi. “Jangan hanya turun ke bisnis seni, karena melihat sisi glamornya,” kata perempuan lulusan Universitas Trisakti ini. Dalam hal ini, Vivi menjelma sosok pengayom bagi para seniman yang tergabung dalam YICA. “Menjalankan bisnis galeri tidak seperti makelar yang tahunya hanya jual beli, tapi perlu juga memperhatikan kehidupan para senimannya,” kata Vivi.
Inilah yang diterapkan Vivi, yaitu mengurusi para seniman tersebut sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. “Saya kadang menjadi tempat curcol atau mengurusi keuangan mereka,” kata Vivi. Kata Vivi, sebagai pemilik galeri, ini hal yang perlu dilakukan. “Jangan hanya tahu sekadar karyanya saja, tapi harus sampai ke kehidupan mereka. Dengan begitu, maka akan tumbuh rasa saling percaya,” katanya.
Vivi ingin menjadi sosok yang berarti bagi para senimannya. “Saya bahkan tidak pernah ikut campur dalam proses penciptaan mereka. Saya memang memberi saran, tapi ini semua kembali ke seniman yang bersangkutan,” katanya.
Dengan alasan yang sama, Vivi berusaha terus meningkatkan portfolio senimannya, antara lain dengan mengadakan pameran karya-karya mereka. “Seorang seniman bisa menciptakan karya macam-macam dan mungkin laris, tapi jika tidak pernah pameran, ini hal yang tidak baik bagi mereka,” kata Vivi.

Menurut Vivi, agar seniman memiliki bargaining power yang kuat, ia harus memperhatikan banyak hal termasuk seberapa sering pameran, siapa pengoleksi dan dimana diadakannya pameran tersebut. “Jika sudah siap, tanpa ragu saya akan membawa mereka ke pasar internasional,” kata Vivi.
Dengan demikian, sampai saat ini Vivi tengah menjalani pekerjaan impiannya. “Waktu kecil, saya lebih dulu bisa menggambar daripada berbicara,” kenangnya.

0 komentar: